Menu Close

Penanganan Fenomena Kebakaran Hutan di Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi salah satu masalah utama yang tidak bisa dipisahkan dari hutan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, masalah utama sektor kehutanan di Indonesia meliputi kebakaran hutan dan kabut asap, penebangan dan degradasi hutan, kepemilikan tanah, kepemilikan tanah dan konflik tenurial, dan seterusnya. Kebakaran terjadi setiap tahun secara berulang yang disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum kebakaran dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor manusia baik sengaja maupun tidak sengaja, serta faktor alam yang antara lain diakibatkan oleh kemarau berkepanjangan. Faktor kesengajaan dapat berupa kesengajaan manusia yang membuka sistem perladangan berpindah maupun lahan perkebunan dengan cara membakar hutan.

Teknik ladang berpindah dilakukan dengan proses pembukaan lahan dalam luas tertentu, menebang dan membakar hutan, kemudian ditanami dengan berbagai tanaman pangan seperti padi, jagung, ataupun singkong. Teknik ladang berpindah sangat bergantung pada musim, karena musim sangat mempengaruhi waktu bakar dan tanam ladang. Ketika musim kemarau, masyarakat menebang pohon kemudian membakar lahan, namun saat akan tiba musim hujan, masyarakat menanam bibit tanaman di ladang. Lahan yang digunakan untuk ladang berpindah terus digunakan hingga waktu yang sangat lama. Lahan yang digunakan menjadi ladang, dalam waktu 2 hingga 3 tahun akan ditinggalkan, karena lahan sudah tidak produktif. Ketika lahan pertama yang telah ditinggalkan kembali subur, lahan kembali dibuka menjadi ladang, dan lahan kedua akan ditinggalkan. Proses tersebut terjadi terus menerus, sehingga secara tidak langsung, lahan yang dipakai untuk berladang telah dipetakan. Hal yang paling sulit dilakukan kepada masyarakat desa adalah mengubah paradigma dari kebiasaan ladang berpindah menjadi pola pertanian menetap karena masyarakat sudah terbiasa membuka lahan dengan sistem tersebut.

Kebakaran dan kerusakan hutan merupakan akibat serius dari adanya kebiasaan sistem ladang berpindah oleh masyarakat. Sistem tersebut dianggap lebih menguntungkan masyarakat desa karena lebih mudah dan praktis untuk dilakukan. Oleh karena itu, tidak mudah menghilangkan sistem yang telah menjadi tradisi turun-menurun. Perlu dilakukan pendekatan dengan cara halus dan bertahap agar masyarakat dapat menyadari pentingnya menjaga kelestarian hutan dengan cara tidak membakarnya. Upaya penanganan kebakaran hutan menjadi tanggung jawab pemerintah dan membutuhkan dukungan serta bantuan dari masyarakat. Kerjasama yang baik antara masyarakat dan pemerintah akan dapat mengurangi tingkat kebakaran hutan yang terjadi.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang tahun 2013 hingga 2018 kebakaran hutan terbesar terjadi tahun 2015. Pada tahun 2015, hutan dan lahan di beberapa daerah di Indonesia terbakar dengan total luas sekitar 261.060.44 hektare. Kemudian tahun berikutnya jumlah semakin menurun. Penurunan yang terjadi ini berkat kerja keras pemerintah dan kesadaran dari masyarakat. Penurunan yang cukup signifikan itu merupakan hasil upaya tiada henti tim terpadu di lapangan. Lokasi yang sulit dijangkau melalui jalur darat, akan dilakukan pemadaman melalui jalur udara. Untuk memaksimalkan upaya pengendalian Karhutla, Pemerintah Provinsi juga sudah menetapkan Status Siaga Darurat Penanggulangan Bencana Asap akibat Karhutla, seperti di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi dan Kalimantan Selatan. Selain itu dilakukan patroli terpadu sebagai upaya mensinergikan para pihak dalam pencegahan Karhutla sampai pada tahap tapak (masyarakat). Patroli Terpadu melibatkan unsur Manggala Agni, Polhut, TNI, POLRI, pers, LSM dan aparat desa/tokoh masyarakat. Manggala Agni adalah Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan Indonesia yang dibentuk oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2003. Brigade ini dibentuk dalam rangka melaksanakan tugas pengendalian kebakaran hutan yang kegiatannya meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan pasca-kebakaran hutan.

Adapun direktorat untuk penyelesaian kebakaran hutan dilakukan oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan, pelaksanaan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, bimbingan teknis dan evaluasi bimbingan teknis, dan supervisi pelaksanaan urusan di daerah bidang pengendalian kebakaran hutan dan lahan. DPKHL sendiri dibawahi oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) yang merupakan salah satu unit kerja dari KLHK. Kemudian, sistem pengendalian dijalankan sesuai amanat pasal 47 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa perlindungan hutan dan kawasan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:

  • Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, KEBAKARAN, daya-daya alam, hama serta penyakit; dan
  • Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Afendy, Albertus. 2017. Kearifan lokal masyarakat dalam mengendalikan api pada aktivitas ladang berpindah di desa pala pulau kecamatan putussibau utara kabupaten kapuas hulu. Jurnal Hutan Lestari. Vol 5 (2)

Awang, San Afri. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial       dan Perlawanan. Yogyakarta: Debut Press.

Mubyarto dkk. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial: Kajian Sosial Antropologis di Provinsi Jambi. Yogyakarta: Aditya Media

Sumber laman:

SiPongi. 2018. Memasuki Kemarau, KLHK Siaga Penuh Antisipasi Karhutla. http://sipongi.menlhk.go.id/publikasi/read/86/memasuki-kemarau-klhk-siaga-penuh antisipasi-karhutla. Diakses pada 11 Agustus 2018 pukul 21.15

Posted in Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.