Karya: Khaerani Nurlaelita
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Lahan gambut berperan penting dalam kehidupan makhluk hidup. Lahan gambut memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya sebagai fungsi ekologis yaitu pengendali banjir serta pengendali iklim global dan fungsi hidrologi. Lahan gambut dikenal dengan lahan basah. Lahan gambut di Indonesia mencapai luas sekitar 20 juta Ha atau 50% dari total luas lahan gambut tropika, berkisar antara 13,5-26,5 juta ha (Najiyati et al, 2005).
Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention Biodiversity), melalui keputusannya tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim telah mendukung aksi untuk meminimalkan kerusakan dan juga mempromosikan restorasi lahan gambut sebagai penyimpan karbon. Selain itu, Convetion Biodiversity atau CBD juga mendukung kajian atas keanekaragaman hayati lahan gambut dan perubahan iklim yang telah dilakukan oleh NGO internasional (Wetlands International and Global Environment Center). Konvensi ini juga menyatakan perlunya penggabungan antara isu-isu lahan gambut ke dalam program kerja keanekaragaman hayati perairan di darat (Inland Water Biodiversity) (Departemen Dalam Negeri, 2006).
Pembukaan saluran/parit akibat aktivitas illegal logging diindikasikan dapat menyebabkan terjadinya pengeringan lahan gambut sehingga memicu kebakaran. Namun, mengingat lahan gambut merupakan lahan basah dengan sistem perairannya yang berpotensi sebagai tempat hidup ikan, maka saluran/parit akibat aktivitas illegal logging tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan dengan model pengelolaan silvofishery.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana implementasi silvofishery pada lahan gambut?
- Jenis ikan apa saja yang dapat dibudidaya dalam pemanfaatan perairan lahan gambut?
- Tujuan
- Mengetahui bagaimana implementasi silvofishery pada lahan gambut sebagai upaya konservasi kenaekaragaman hayati.
- Mengetahui jenis ikan yang dapat dibudidaya di perairan lahan gambut termasuk proses adaptasinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Perairan lahan gambut di Indonesia terutama di daerah Kalimantan banyak terjadi di daerah pantai dan pedalaman. Kalimantan Tengah memiliki lahan gambut seluas 2.162.000 ha, berada pada urutan ketiga di Indonesia setelah Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Potensi lahan yang cukup besar ini sampai sekarang masih belum banyak dimanfaatkan khususnya untuk sektor perikanan (Sukardi dan Hidayat, 1998).
Perkembangan budidaya ikan di perairan lahan gambut, masih didominasi oleh budidaya kolam yang menggunakan air saat terjadi pasang surut air sungai. Rendahnya nilai pH menjadi salah satu faktor penghambat kegiatan budidaya ikan di perairan lahan gambut. Untuk memanfaatkan potensi lahan gambut melalui budidaya perikanan diperlukan suatu strategi penanggulangan rendahnya nilai pH yaitu dengan pendekatan biologis. Strategi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan ikan lokal yang telah beradaptasi di lingkungan lahan gambut, serta dengan melakukan introduksi ikan-ikan dari luar dan hasil rekayasa yang tahan terhadap perairan lahan gambut (Huwoyon dan Gustiano, 2010).
Silvofishery merupakan suatu model pengelolaan yang mensinergikan antara aspek ekologi dan aspek ekonomi. Silvo atau budidaya hutan sebagai upaya pelestarian lingkungan, dan fishery adalah kegiatan perikanan yang mewakili aspek ekonomi (Boekeboom et al.,1992). Potensi untuk mengembangkan kegiatan perikanan di lahan gambut sangatlah besar, sebagai upaya konservasi keanekaragaman hayati lahan gambut yang memiliki tingkat keragaman tinggi pada populasi ikannya.
Terdapat beberapa jenis ikan yang telah dikembangkan di perairan lahan gambut diantaranya adalah ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus), lele dumbo (Clarias gariepienus), dan ikan nila (Oreochromis niloticus) strain BEST (Bogor Enhanched Strain Tilapia) (Huwoyon dan Gustiano, 2010). Jenis ikan tersebut memiliki banyak keunggulan dibanding jenis ikan lokal yang lain, yaitu mampu hidup dalam kondisi rendah pH serta minim oksigen.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan informasi yang dilansir melalui studi pustaka, di desa Muara Puring (Kabupaten Barito Selatan-Kalteng), saluran/parit di lahan gambut (panjang antara 3-11 km) sebagai hasil dari aktivitas illegal logging telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk daerah hasil tangkapan ikan (jenis ikan yang ditemukan adalah betok, gabus, sepat dan lele) yang saat musim hujan dilaporkan mencapai 100 kg untuk tiap 500 m ruas parit yang disekat (lebar 1,2 m dan dalam sekitar 1 m) dan bahkan mencapai 2 ton untuk ruas parit sepanjang 3 km (Departemen Dalam Negeri, 2006).
Dari informasi di atas, dapat diketahui bahwa lahan gambut memiliki potensi yang sangat besar sebagai daerah budidaya perikanan. Seperti yang diketahui bahwa silvofishery merupakan media pengelolaan ekosistem yang banyak ditemukan di kawasan hutan mangrove. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa di lahan gambut juga bisa diterapkan pola silvofishery. Di lahan gambut diperlukan kesesuaian dan adaptasi jenis ikan yang akan dibudidaya, diantaranya adalah ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus), lele dumbo (Clarias gariepienus), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan Gurame/Kalui (Osphronemus gouramy, ikan Gabus/Haruan (Channa striata), ikan Toman (Channa micropeltes).
Jenis ikan sepat siam (Pangasianodon hypophthalmus) ternyata merupakan spesies yang mendominasi sekitar 60% dari ikan rawa jenis lainnya. Sepat siam merupakan ikan sungai dan rawa yang mampu bertahan dalam kondisi pH sekitar 4-9, serta ditunjang dengan pernafasan cadangan (labirint) sehingga ikan ini mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik dalam kondisi asam. Begitu pula dengan jenis ikan Gurame/Kalui (Osphronemus gouramy, ikan Gabus/Haruan (Channa striata) mampu bertahan hidup dalam kondisi oksigen yang minim serta kadar pH yang rendah, karena rata-rata ikan tersebut mempunyai pernafasan tambahan berupa labirint sehingga dapat berkembang dalam kadar oksigen yang rendah.
Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan lahan gambut yang memanfaatkan parit-parit bekas aktivitas illegal logging untuk dijadikan empang, empang parit dengan metode tumpang sari yaitu antara vegetasi lahan gambut seperti jelutung (Dyera costulata), gelam (Melaleuca leucadendron), meranti (Shorea spp.) Proses pembudidayaan ikan di lahan gambut terbilang cukup mudah, teknik pembenihan maupun pembesaran ikan dapat dilakukan secara alami, karena ikan-ikan biasa membuat sarangnya diantara akar-akar tanaman.
Kegiatan silvofishery ini dapat dijadikan sebagai upaya konservasi keanekaragaman hayati serta perbaikan lingkungan lahan gambut dengan tujuan untuk tetap menjaga siklus hidrologi lahan gambut serta mencegah dari bencana kebakaran lahan gambut. Melalui pembudidayaan ikan, silvofishery mampu menyediakan manfaat dalam aspek ekonomi, salah satunya mampu menjadi penyumbang devisa negara. Semakin bertambahnya populasi manusia, ketersediaan ikan menjadi berkurang, oleh karena itu perlu diperlukan program pelestarian melalui silvofishery.
BAB IV
PENUTUP
Pentingnya keberadaan lahan basah termasuk lahan gambut sebagai aspek penting dalam menunjang sumberdaya pendukung ekologi dan ekonomi perlu dilakukan pengelolaan lebih lanjut. Upaya konservasi keanekaragaman lahan gambut dimaksudkan untuk meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya fungsi lahan gambut yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pengelolan lahan gambut yang lestari serta berkelanjutan salah satunya dengan silvofishery.
Daftar Pustaka
Beukeboom, H. Lai, C K., & Otsuka, M.1992. Report of the Regional Expert Consult- ation on Participatory Agroforestry and Silvofisherry System in Southeast Asia-Pacifik Agroforestry (diakses tanggal 13 Maret 2017, 21.00 WIB).
Departemen Dalam Negeri, 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Jakarta.Indonesia.
Huwoyon, G.H., Sulhi, M., Gustiano, R., Mudjiutami, E., Wahyutomo, & Prihadi, T.H. 2010. Keragaan pertumbuhan ikan nila best dan lokal di lahan gambut. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia. Sekolah Tinggi Perikanan.Jakarta.
Najiyati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I.N.N. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests, and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Soekardi, M. & Hidayat, A.1988. Extent and distribution of peatsoils of Indonesia. Third Meeting Cooperative Resarch on Problem Soils. CRIFC.Bogor.