Menu Close

Satu Peta Untuk Atasi Konflik Tumpang Tindih Perizinan di Minangkabau

Sumber: Pixabay oleh Free-Photos

Oleh Fadhila Amaliyah

Menurut UU No.41 Tahun 1999, salah satu penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi hutan. Untuk mencapai kemakmuran dalam masyarakat maka perlu adanya kepastian hukum tentang kawasan hutan Indonesia. Kepastian hukum merujuk pada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen. Kepastian hukum sebagai “tali pegangan” saat terjadi konflik. Perlu diketahui bahwa permasalahan hutan telah ada di Indonesia sejak masa penjajahan hingga sekarang. Kawasan hutan Indonesia yang luas merupakan alas munculnya berbagai permasalahan atas hutan.

Salah satu permasalahan dasar kehutanan yang saat ini sedang terjadi adalah tumpang tindih perizinan yang berdampak pada kasus tumpang tindih peta. Sebenarnya, kasus tumpang tindih wilayah hutan bukan lagi hal yang baru. Sudah banyak kasus tentang kejelasan batas wilayah antar kawasan hutan yang satu dengan kawasan hutan yang lain. Wilayah Indonesia yang luas dan adanya ketidaksinkronan antarlembaga pemerintah seringkali menjadi sumber dari tumpang tindih ini. Bahkan, di daerah desa yang ada di pedalaman sering kali terjadi konflik mengenai batas hutan desa satu dengan desa lainnya. Padahal permasalahan batas desa ini jika dilihat tak serumit tumpang tindih perizinan karena hanya ada dua pihak. Namun, pada realitanya permasalahan ini juga cukup alot untuk diselesaikan.

Permasalahan tumpang tindih perizinan ini tak luput terjadi di masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau sendiri sebenarnya telah memiliki kebijakan dan pemahaman yang mendalam mengenai tata kelola lahan hutan. Masyarakat mengetahui tentang pembagian wilayah hutan dengan istilah-istilah yang mereka sematkan (Tresno dkk, 2018). Konflik mulai terjadi akibat ketidakpastian hukum mengenai kawasan hutan. Lembaga pemerintahan satu dengan lembaga lainnya memiliki peta yang berbeda sehingga saat membuat perizinan terjadilah tumpang tindih perizinan.

Tumpang tindih perizinan ini tak menjadi satu-satunya masalah di masyarakat Minangkabau. Kawasan hutan di Sumatera Barat yang di terdiri atas kawasan hutan lindung, kawasan hutan konservasi, dan kawasan hutan produksi ini memiliki kegelisahan lain. Kawasan hutan ini sangat rentan terhadap ekspansi industri. Ekspansi industri ini dapat memicu konflik vertikal antara masyarakat dan perusahaan (Majalah CSR, 2019). Masyarakat yang ingin kawasannya tetap lestari dengan ekosistem yang tetap terjaga tentunya tak menginginkan ekspansi industri ini. Namun, perusahaan yang berorientasi keuntungan tentunya akan terus mencari cara agar keuntungan dapat diraupnya. Permasalahan ekspansi ini diperparah oleh  ketidakjelasan batas wilayah kawasan hutan. Ketika akan dikeluarkan perizinan untuk pendirian perusahaan, sering kali terjadi kesalahan informasi. Peta yang dimiliki oleh lembaga terkait terkadang belum ter-update atau ternyata peta di kawasan tersebut memiliki status lahan ganda.

Konflik-konflik ini juga menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Seperti kasus yang terjadi di Minangkabau, awalnya masyarakat membiarkan perusahaan HPH untuk sedikit melewati batas wilayah hutan adat. Namun, pada akhirnya banyak terjadi penyelewengan yang dilakukan perusahaan tersebut (Majalah CSR, 2019). Penyelewengan ini membuat masyarakat merasa dirugikan. Masyarakat sekitar hutan yang memiliki kondisi ekonomi menengah ke bawah akan meraskan kerugian yang besar. Kawasan hutan yang luas seharusnya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin agar didapatkan manfaat yang sebesar mungkin tidak dapat mereka akses lagi.

Menengok kasus seperti ini tentunya membuat kita berpikir langkah apa yang harus diambil agar masalah ini cepat selesai, agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan, serta agar kemakmuran masyarakat tercapai. Akar dari konflik yang ada di Minangkabau adalah ketidakpastian batas wilayah antarkawasan hutan. Ketika berbicara tentang batas wilayah maka hal ini berkaitan dengan peta. Dalam sebuah peta terdapat batas yang jelas dari suatu wilayah. Melalui peta diharapkan dapat diketahui mana wilayah hutan adat dan mana wilayah hutan produksi. Maka dari itu diperlukan peta yang benar-benar sesuai di masyarakat. Menurut informasi yang dibagikan oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (2018), Presiden Joko Widodo meluncurkan kebijakan satu peta sebagai solusi permasalahan tumpang tindih lahan di Indonesia. Karena nyatanya kasus ini banyak terjadi di Indonesia, apalagi pada lokasi yang memiliki luas hutan yang besar.

Kebijakan satu peta ini tentunya memerlukan kerja sama dari semua pihak yang terlibat. Penyusunan kebijakan satu peta melalui 3 tahapan yaitu kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi Informasi Geospasial Tematik (IGT). Kebijakan satu peta ini pada dasarnya merupakan proses berbagi data antarpemangku kepentingan untuk pembangunan Nasional (Nurwadjedi, 2019). Setelah peta ini terbit dan terealisasikan, maka semua lembaga yag hendak membuat perizinan harus melihat peta ini dahulu. Membuat koordinasi yang searah dengan lembaga yang berwenang mengurusi batas wilayah. Komunikasi nilainya sangat penting dalam permasalahan seperti ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Kebijakan satu peta yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih ini tentunya berkaitan dengan pemerintahan. Dimana dalam hal ini untuk mengukuhkan wilayah agar tak terjadi lagi penyelewengan maka diperlukan hukum. Adanya kepastian hukum yang mengikat diharapakan dapat meminimalisir terjadinya penyelewengan batas wilayah hutan. Akan sangat disayangkan ketika Indonesia yang dianugerahi kawasan hutan yang luas tak mampu menjaga wilayah tersebut sebaik mungkin.

 

 

Referensi

Nurwadjedi. 2019. Kebijakan Satu Peta untuk Pembangunan Indonesia. Cibinong : Badan      Informasi Geospasial.

Nurwadjedi., Lien, Rosalina., Yusuf, Wibisono. 2019. Membangun Satu Peta Untuk Penataan Ruang. Jurnal Katalogis. Volume 5 (02) : 125-134.

Publikasi laporan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). 2015. Diakses dari : http://kpa.or.id/publikasi.

Redaksi. 2019. Memperjuangkan Keberlangsungan Hutan di Sumatera Barat. Majalah CSR.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. 2018. Diakses dari : https://setkab.go.id/

Tresno., Rizka Fitri, Ana., Muki, Wicaksono., Auviar, Wicaksanti., Riche, Deswita. 2018. Antara Ulayat dan Hutan Nagari : Sebuah Kebijakan Perhutanan Sosial di Minangkabau. Jurnal Antropologi. Volume 20 (2) : 191-211.

Posted in ARTIKEL, OPINI

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.