Taman Nasional Gunung Leuser, Tanaman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan tiga kawasan konservasi yang terletak di tanah Sumatera. Kawasan ini terdapat hutan hujan tropis yang menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi. Flora dan fauna yang memiliki ciri khas masing – masing seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Orang Utan, Rafflesia arnoldi, dan Amorphophalus titanium. Keanekaragaman tersebut membentuk suatu ekosistem yang menjadi satu kesatuan. Tak dapat dipungkiri, tanah Sumatera ini dijuluki sebagai tempat yang hampir semua hewan ikonik “The Jungle Book” karya Rudyard Kipling hidup.
UNESCO mendeskripsikan bahwa wilayah hutan hujan tropis di Sumatera yang terancam punah seluas 2.5 juta hektar. Luas hutan tersebut tersebar di tiga taman nasional yang telah disebutkan di atas. UNESCO juga menyebutkan bahwa di wilayah tersebut terdapat lebih dari 10.000 jenis tanaman, 200 jenis mamalia, dan 580 spesies burung yang 21 jenis diantaranya merupakan endemik. Dari jenis mamalia yang ditemukan, 15 spesies diantaranya adalah spesies asli Indonesia. Pulau Sumatera juga merupakan bukti sejarah dari evolusi panjang wilayah paparan Sunda di wilayah barat Indonesia (mongabay.co.id, 2012). Bahkan, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengakui bahwa ekosistem Leuser merupakan salah satu daerah lindung yang paling tidak tergantikan di dunia (Deal, 2015). Oleh karena itu, untuk menjaga dan melindungi keanekaragaman hayati di tanah Sumatera, pada 24 Juni – 6 Juli 2012 dalam sidang World Heritage Committee UNESCO di Saint Petersburg, Rusia, menetapkan bahwa hutan hujan tropis Sumatera masuk dalam daftar UNESCO sebagai salah satu dari 38 Warisan Dunia yang Terancam.
Tentu banyak hal yang menyebabkan warisan dunia tersebut terancam. Misalnya, adanya deforestasi yang disebabkan oleh berbagai faktor. World Resources Institute (WRI) (2017) menunjukkan bahwa sisa hutan primer di Sumatera seluas 321.000 hektar yang terletak di wilayah pegunungan dan lereng curam sepanjang Bukit Barisan yang sulit dijangkau. WRI (2017) juga menjelaskan bahwa tingkat deforestasi di hutan Sumatera mengalami penurunan dari 2014 hingga 2015. Namun, penurunan tersebut disebabkan oleh tidak adanya lagi lahan hutan primer yang tidak dapat diakses guna diubah menjadi lahan lainnya.
Apa saja yang menyebabkan deforestasi di tanah Sumatera?
Penyebab utama deforestasi di Indonesia banyak disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit serta industri pulp dan kertas. WRI (2017) menyebutkan bahwa hutan primer yang telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri seluas hampir 1,6 juta hektar (4 juta acre) dan 1,5 juta hektar (3,7 juta acre) atau setara dengan suatu wilayah yang lebih besar dari Swiss. Sedangkan, di Sumatera, perkebunan pulp dan paper diperkirakan mencapai 1,2 juta hectare hutan pada 2000-2010 (mongabay.co.id, 2017). Forest Watch Indonesia (FWI) (2018) juga menjelaskan bahwa 50% dari seluruh daratan di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku Utara telah dikuasai oleh pemegang izin konsesi. Wilayah daratan yang dialokasikan pemanfaatannya untuk masyarakat dalam berbagai bentuk program perhutanan sosial dan hutan adat hanya sebesar 4%.
Seberapa besar pengaruh Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit terhadap keanekaragaman hayati?
Hutan tanaman industri merupakan hutan yang didominasi oleh tanaman homogen, pohon yangg ditanam hanya pohon sejenis. Sama halnya dengan kelapa sawit. Bahkan, kelapa sawit bukanlah tanaman berkayu sehingga tidak bisa dikelompokkan ke dalam tanaman berkayu. Hutan alam memiliki jenis tanaman yang heterogen (beragam). Terdapat beragam komponen biotik dan abiotik yang terdapat dalam hutan tersebut. Sehingga, bisa mendukung proses kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Ketika struktur hutan alam tersebut diganti dengan yang sejenis, maka fungsi ekologis di dalamnya akan berubah.
Selain merubah lanskap kawasan, perkebunan sawit membutuhkan banyak air untuk produksi tanaman. Sedangkan, air yang dibutuhkan untuk konsumsi masyarakat juga banyak. Selain itu, kemampuannya terhadap kesuburan tanah dinilai kurang baik. Karena, kelapa sawit tidak menghasilkan seresah (kompos) yang bisa memperbaiki tanah dibawahnya. Perubahan hutan alam menjadi perkebunan menyebabkan erosi dan sedimentasi semakin besar. Mengapa? Hutan alam yang memiliki tajuk tebal yang berfungsi sebagai penangkap air sehingga air tidak jatuh langsung ke permukaan tanah (intersepsi) menjadi hilang. Aliran permukaan (run off) yang dihasilkan dari hujan semakin besar dan berpotensi untuk menjadi erosi yang bisa membawa sedimentasi.
HTI dan perkebunan sawit memang sangatlah mendukung fungsi ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Akan tetapi, dari sisi fungsi ekologis, HTI dan perkebunan kelapa sawit tidaklah mendukung. Keanekaragaman hayati hilang satu persatu dari kawasan karena habitatnyna telah rusak. Oleh sebab itu, perlu sinergisitas antara manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang akan diterima oleh berbagai pihak terkait. Maka, dalam pengelolaan kawasan dengan tanaman ini harus ada berbagai inovasi – inovasi baru. Sehingga, keanekaragaman hayati di tanah Sumatera terjaga dan lestari.
Sumber:
Riset: Hutan Tersisa Sumatera Itu, Jalur Jelajah Mamalia Besar
6 Tahun Sejak Moratorium, Data Satelit Menunjukkan Hutan Tropis Indonesia Tetap Terancam
Satu Dekade Deforestasi di Indonesia, di Dalam dan di Luar Area Konsesi
UNESCO: Hutan Sumatera di Daftar 38 Warisan Dunia Yang Terancam
Rencana lintas Sumatra bisa menjadi mantera babak gelap bagi ekosistem bertingkat: Studi
Keanekaragaman hayati harus terus dipantau dan dilestarikan. Karena bila tidak mereka akan punah. Sudah banyak hal-hal begitu punah begitu saja