Seakan sistem yang dibuat-buat oleh negara ini justru menjadi bom bunuh diri bagi bangsa Indonesia. Tapi sebagai rakyat tidak boleh menghina-hina kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya pada aspek pendidikan. Sistem menghendaki anak bangsa untuk selalu berorientasi pada nilai yang hanya tercantum di atas selembar kertas dengan goresan tinta hitam, biru, ataupun merah. Bahkan sampai ada anggapan bahwa ‘loe boleh nakal, asal pintar’ gila bukan?? Semakin berlalu zaman, yang dipandang baik bagi bangsa ini itu hanya terukur dari parameter ‘pintar-pintar’ yang di sekolahan, sederhananya anak sekolahan boleh ngelakuin apa aja asalkan di kelas dia dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Wajar bila akhir-akhir ini kerap terjadi fenomena ‘luar-binasa’ di lingkungan belajar (baca: sekolah) yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti kasus kang Budi yang dipukuli oleh muridnya sendiri, dan kasus fenomenal lainnya. Namun, tidak semua anak sekolahan berkelakuan gila seperti itu, masih banyak yang menjunjung jati diri bangsa.
Berikutnya, sistem pendidikan Indonesia saat ini justru seolah-olah berkontribusi dalam penghilangan suatu ‘hakikat belajar’. Terdapat stereotip yang melekat kuat, bahwa belajar itu ya di sekolah, sehingga tidak wajib belajar jika tidak di sekolah. Belajar itu harus ada hasil yang berupa nilai dalam bentuk angka atau huruf, sehingga ujung-ujungnya dari proses pendidikan, peserta didik hanya mau mendapat angka 10 atau A, entah benar-benar menguasai atau tidak, (yang penting dapet 10). Pernahkah ada di antara kita yang meminta nilai jelek pada guru/dosen, lantaran tidak bisa atau belum benar-benar menguasai materi ?? Selanjutnya “Wahh kamu hebat” atau “ihhh.. sombong banget!” Yang akan didapat?? Saya yakin tanggapan kedua yang akan sering didapat. Begitulah mental bangsa ini sudah begitu bobrok, lagi-lagi sistem mendukung. Hal ini juga sebagai bukti bahwa memang sejak kecil bangsa ini sudah dididik untuk hidup materialistis. Namun sekali lagi, bukan hak bagi rakyat untuk mengolok-olok atau menghina pemimpin negara, bahkan dalam ajaran Islam sudah menjadi kewajiban bagi pemeluknya untuk selalu mendukung dan membantu pemimpin negara.
Permasalahan diangkat bukan untuk dipermasalahkan, akan tetapi dicari solusinya, itulah yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Melihat sistem pendidikan Indonesia yang masih kurang baik, justru bukan menjadi alasan untuk bermalas-malasan dalam belajar di sekolah. Sistem yang buruk ditambah pengguna yang bodoh akan memperparah suasana, itulah yang saat ini terjadi.
Melihat situasi ini, maka langkah utama yang tepat adalah memperbaiki pola pikir pengguna dalam hal ini siswa. Sekarang ini banyak peserta didik yang lupa atau bahkan belum mengetahui hakikat belajar. Pada dasarnya belajar merupakan suatu proses untuk mengenali, memahami dan menguasai materi hingga tujuan akhirnya dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari di kehidupan nyata, bukan lagi menyajikan dalam bentuk teori. Seseorang dikatakan berhasil bilamana ia dapat mengaplikasikan teori bukan orang yang hanya menghafal teorinya, inilah arti sebenarnya dari sebuah proses pembelajaran dan pendidikan. Oleh sebab itu perlu disadari bahwa pendidikan yang di dalamnya terdapat proses belajar harus mengedepankan hakikat belajar itu sendiri, belajar itu di mana saja tidak hanya di sekolah atau universitas, maka sepatutnya hasil angka atau huruf bukan menjadi tujuan akhir. Pola pikir materialistis nilai harus mulai disingkirkan. Sadari bahwa dalam proses belajar memahami dan menguasai itu lebih penting, daripada hanya sekedar memperoleh nilai-nilai yang bersifat simbolik. Pola pikir ini lah yang harus ditanamkan pada diri setiap putra bangsa ketika mengenyam pendidikan dari tingkat dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Ajang pamer nilai menjadi kebiasaan ketika suatu institusi pendidikan telah melaksanakan proses ujian, ditandai dengan dipampangnya hasil nilai dari masing-masing siswa juga menjadi salah satu bagian sistem yang harus dibenahi. Tujuannya memang baik agar menjadi bahan introspeksi bagi siswa yang mendapat nilai jelek, namun tidak semua siswa dapat menerima kenyataan, bahkan banyak dampak buruk akan terjadi jika masih mempertahankan sistem seperti ini antara lain, dapat menjadikan siswa malu jika mendapatkan nilai buruk, akibatnya nilai simbolik menjadi prioritas utama, lebih parahnya ada sebagian siswa yang phobia jika mendapat nilai di bawah rata-rata sehingga segala upaya dilakukan demi menggapai nilai tinggi, ujung-ujungnya ‘nyontek’ dijadikan jalan keluar. Lagi-lagi tingginya tingkat kecurangan dalam ujian tidak bisa secara sepihak dibebankan hanya kepada siswa atau hanya kepada sistemnya, namun keduanya saling berkaitan erat. Oleh sebab itu budaya pameran nilai yang selama ini dilakukan di berbagai institusi pendidikan, harus dikaji ulang oleh para pemegang kewenangan.
Konsep yang seharusnya dikembangkan dalam pendidikan kita dalam masalah ini, ialah privatisasi nilai. Artinya nilai dijadikan suatu hal yang privat atau rahasia yang hanya diketahui oleh guru/dosen pengajar dengan siswa/mahasiswa yang bersangkutan, sehingga sesama pelajar tidak akan memandang remeh antara satu dengan yang lainnya. Terdapat suatu kemajuan yang lebih baik, yaitu sudah banyak tidak digunakannya sistem rangking, tapi nilai hasil ujian masih juga dipertontonkan oleh semua siswa. Nilai yang disimbolkan menjadi salah satu tolok ukur tingkat pemahaman peserta didik, namun demikian banyak hal yang masih tidak bisa disimbolkan dari proses pendidikan. Oleh sebab itu privatisasi nilai dapat menjadi suatu bentuk penghargaan tersendiri dari pengajar kepada peserta didiknya, dengan cara merahasiakan hasil ujian, atau hanya diketahui oleh kedua pihak tersebut. Siswa yang memiliki nilai buruk tidak akan merasa minder atau malu jika berdekatan dengan siswa yang pandai, karena di antara mereka tidak tahu siapa yang lebih baik hingga karya dan keterampilannya yang membuktikan. Tidak ada rasa malu untuk selalu berkompetisi antar pelajar. Orang yang merasa bisa akan selalu meningkat kemampuannya dan tidak lalai dengan nilai, sedangkan orang yang belum bisa akan selalu berusaha karena ia tidak terbelenggu oleh nilai. Itulah mengapa penting diterapkannya privatisasi nilai di sistem pendidikan Indonesia.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Hal ini menunjukkan bahwa setiap elemen yang terlibat dalam pendidikan Indonesia tidak boleh saling meruntuhkan semangat, rakyat mendukung penuh kebijakan pemerintah (aspek pendidikan) selama masih memberikan teladan, pemerintah menjalankan amanah karena tidak diberi mandat atau dorongan oleh rakyat, dan rakyat dalam hal ini yang sedang menempuh studi harus benar-benar memanfaatkan kesempatan, sehingga dikemudian hari dapat menjadi generasi emas, sebagai pionir pembangunan negeri. Setiap warga negara Indonesia bertanggung jawab atas pendidikan bangsanya, sudahkah Anda benar-benar belajar dan memahami?