Oleh Shelin Khusnul Permata
Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya harus
segera direvisi. Rencana revisi ini sudah dimulai pada tahun 2016 dan 2018, revisi Undang-
Undang ini sudah memasuki program legislasi nasional (Proglenas), tapi pembahasan tidak
dilanjutkan juga tidak dimasukkan ke Proglenas Prioritas. Revisi Undang-Undang ini sangat
perlu untuk dimasukkan ke Proglenas Prioritas karena terjadinya peningkatan eksploitasi
Kawasan Konservasi, perburuan liar satwa yang bernilai tinggi, pembunuhan hingga
peracunan satwa liar, serta kebakaran hutan dan lahan. Hal ini akan terus terjadi tiap tahun
jika tidak ada regulasi yang mengatur tentang tindakan tersebut. Suatu tindakan akan
mendapat sanksi atau dikenai pidana/perdata jika sudah ada hukum yang mengatur itu semua.
Tanpa itu, pelaku tindakan tersebut akan terus tenang dan siap menghabisi sumber daya alam.
Pada tahun 2015, Protection of Forest & Fauna (PROFAUNA) Indonesia mencatat
terdapat beberapa kasus yang tergolong tinggi, di antaranya; (1) perdagangan 96 ekor
trenggiling hidup, 5.000 kg daging trenggiling beku, dan 77 kg sisik trenggiling yang
terungkap di Medan pada bulan April 2015, (2) penyelundupan 10 kg insang ikan pari manta,
4 karung berisi campuran tulang ikan hiu dan ikan pari manta, 2 karung tulang ikan hiu dan 4
buah sirip hiu di Flores Timur pada bulan Juli 2015, (3) penyelundupan 1 kontainer 40 feet
cangkang kerang kepala kambing senilai Rp20,422 miliar pada bulan Agustus 2015 di
Tanjung Priok, Jakarta Utara. Barang ilegal itu rencananya akan diekspor ke Cina. Tindakan
ini memang sudah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya pada pasal 21 ayat (1) dan (2), serta hukumannya terdapat
pada pasal 40 ayat (2), yang isinya adalah “Barangsiapa dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)” serta pada pasal 40 ayat (4) yang
isinya adalah “Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Jika dibandingkan antara denda yang harus
dibayar dengan pendapatan dari penjualan satwa liar, pasti pelaku tindakan tetap memiliki
keuntungan yang lebih banyak. Maka dari itu, revisi UU No. 5 tahun 1990, harus segera
direvisi dan disahkan agar sesuai dengan keadaan sekarang.
Revisi UU ini akan digabung dengan RUU Kekayaan Genetik. Kedua usulan tersebut
dirangkum menjadi RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (RUU Kehati).
Menurut Indra, tim penyusun draf RUU ini, substansi RUU Kehati berbicara soal
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Di setiap isu itu menyangkut ekosistem, spesies
dan genetik. Karena kekayaan genetik yang dimiliki oleh Indonesia, banyak peneliti yang
datang untuk melakukan penelitian tentang genetik lokal, yang tanpa sengaja merusak sumber
daya genetik itu sendiri. Di Indonesia, hanya ada regulasi yang mengatur tentang sumber
daya genetik liar dan tidak ada regulasi mengenai sumber daya lokal.
Revisi UU ini juga perlu pembahasan atau regulasi yang mengatur tentang efektivitas
pengelolaan dan sistem koordinasi yang baik agar sumber daya ini dapat dimanfaatkan untuk
jangka panjang. Sistem koordinasi bisa dimulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi,
dan nasional. Melibatkan banyak lapisan masyarakat, diharapkan sistem koordinasi menjadi
lebih terarah dan terpantau. Di dalam Revisi UU ini sendiri, terdapat tiga aspek penegakan
hukum, di antaranya; administrasi, perdata, dan pidana. Sanksi administrasi dalam RUU
Kehati juga terbagi dalam empat tingkatan: teguran, paksaan pemerintah, pembekuan hingga
pencabutan izin. Sanksi perdata dilakukan dengan mengatur hak prosedural dan substansial
(ganti rugi dan tanggung jawab mutlak).
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan agar RUU ini masuk ke Proglenas
Prioritas. Menurut Bivitri Susanti, seorang ahli hukum tata negara, pembuatan UU harus
berdasarkan data dan bukti. Dalam UU 12 tahun 2011 dan UU 15 tahun 2019 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan, terdapat pembuatan naskah akademik yang
didukung oleh data dan penelitian. Tetapi, terdapat beberapa kelemahan dalam naskah
akademik yang membuat naskah tersebut tidak masuk ke Proglenas Prioritas, di antaranya;
(1) dianggap harus dibuat oleh akademisi, tapi tidak berdasarkan data empiris di lapangan,
(2) penelitian yang sudah baik cenderung diabaikan karena kepentingan politik, dan (3) tidak
ada informasi tentang penyusunan naskah akademik, sehingga sulit ditelusuri dan minim
akuntabilitas. Poin kedua memang tidak bisa dikendalikan oleh masyarakat maupun
akademisi, tetapi poin 1 dan poin 3 dikendalikan dan diperbaiki oleh akademisi.
Regulasi atau hukum ini penting, karena sumber daya alam terdapat di suatu wilayah dan
wilayah itu dimiliki oleh negara dan negara lah yang mengatur semua itu dengan Undang-
Undang. UU dan peraturan itu penting untuk menyelesaikan masalah yang ada serta
rehabilitasi keadaan yang sudah dirusak. UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya sudah terlalu lama dan tua untuk berdiri
menghadapi zaman yang kian pelik. Maka dari itu, revisi UU dan disahkannya RUU Kehati
perlu segera dilaksanakan.
Daftar Pustaka :
http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/602.pdf
http://berkas.dpr.go.id/pusatpuu/draft-ruu/public-file/draft-ruu-public-4.pdf