Dalam perkembangannya, energi terbagi menjadi beberapa generasi. Generasi pertama, bioenergi yang berasal dari biji-bijian maupun bahan pangan seperti singkong dan lain – lain. Artinya sumber energi diambil dari bahan pangan maupun biji-bijian yang mengandung minyak. Namun, sepertinya pengembang bioenergi tidak mengambil dari sumber bahan pangan seperti singkong mengingat masih banyak dari saudara-saudara kita yang kekurangan bahan pangan sekaligus hal ini akan menganggu ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu, banyak peneliti mulai mencari biji-bijian yang berpotensi mengandung minyak, seperti telah diteliti biji malapari yang memiliki kandungan minyak 27-40% dari berat kering benihnya. Kemudian, biji nyamplung yang memiliki kandungan minyak sekitar 70% dari berat keringnya. Generasi kedua yaitu bioenergi yang mengandalkan limbah organik khususnya lignoselulosa menjadi sumber energi terbarukan. Masih banyak teknologi yang perlu dikembangkan mengingat proses konversi menjadi energi yang tidak sederhana pada generasi pertama. Generasi ketiga, merupakan konsep bioenergy yang memanfaatkan alga menjadi sumber energy. Sebenarnya konsep ketiga ini cukup menguntungkan dalam memproduksi energi dengan berbagai pertimbangan.
Bagaimana perkembangannya di Indonesia?
Indonesia merupakan negara megabiodiversitas, artinya memiliki kelimpahan flora dan fauna serta macamnya sehingga negara saat ini sedang gencar-gencarnya dalam pengembangan bioenergi. Di samping itu, bahan bakar fosil yang mulai menipis dan kebutuhan energi yang mulai meningkat. Peraturan tentang kebijakan energi nasional juga menargetkan bahwa tahun 2025, ketahanan energi negara 30% berasal dari bahan bakar cair yang terbuat dari minyak nabati. Pemerintah telah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional pada 2014 (PP No. 79 Tahun 2014 Kebijakan Energi Nasional) yang menargetkan 23% energi baru dan terbarukan pada 2025. Bahkan pada tahun 2014 Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementrian ESDM telah sepakat untuk mengembangkan bioenergi sebagai sumber energi Indonesia di masa depan.
Dalam perkembangannya konsep bioenergi yang akan diterapkan di Indonesia yaitu generasi pertama. Memanfaatkan minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit merupakan langkah nyata yang dapat diwujudkan bioenergi untuk ketahanan energi nasional di masa mendatang. Sedangkan, penerapan bioenergi generasi kedua yang bersumber dari limbah kayu masih perlu bukti karena hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu beroperasi seperti tertera pada Rangkuman lokakarya yang digelar bersama Kementerian Nasional Perencanaan Pembangunan/Bappenas dan CIFOR, 31 Mei 2016, Jakarta. Sementara itu, pemanfaatan alga sebagai biofuel masih hanya sekedar penelitian.
Pada pelaksanaanya kementrian LHK diharapkan dapat mengembangkan Hutan Tanaman Energi (HTE) pada perusahaan hutan milik negara dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Di samping terdapat sekitar 28 perusahaan HTI yang telah berkomitmen untuk mengembangkan bioenergi sejak tahun 2016.
Namun, upaya pemerintah saat ini untuk mengembangkan bioenergi tidak mudah. Ada beberapa faktor yang dapat menjadi hambatan dalam mengembangkan sumber energi terbarukan atau bioenegi. Belum ‘kelar’nya penetepan batas kawasan hutan seluruh Indonesia menjadi salah satu faktornya sehingga sangat rentan timbul konflik dengan masyarakat. Selain itu juga sangat mudah terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan masih banyak faktor penghambat yang lain. Akibatnya kelestarian dan keberlanjutan produksi energi tidak mendapat jaminan. Ini menjadi catatan penting bagi forester Indonesia untuk terus belajar dan di masa depan diharapkan dapat menjadi problem solver dari masalah berlarut-larut yang tak kunjung usai. So, dapatkah kelak bangsa ini mengendarai motor yang tidak berpolusi? Atau malah penerangan bangsa Indonesia hanya sang rembulan?
Sumber:
Indonesia sebagai Lumbung Bioenergi Dunia
Rangkuman lokakarya yang digelar bersama Kementerian Nasional Perencanaan Pembangunan/Bappenas dan CIFOR, 31 Mei 2016, Jakarta.
Direktorat Jenderal Tata Kelola Produksi Hutan Berkelanjutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016